Rabu, 16 Maret 2016

Desa Legetang dan Kota Pompeii

DESA LEGETANG


Suatu malam di pendopo desa Legetang, tepatnya 16 April 1955, suara gemuruh gamelan masih bergema di seluruh penjuru desa diiringi dengan tawa riuh penari Lengger nan genit. Bau arak Jawa, dupa, asap rokok, bersatu bersama celotehan para penonton yang mulai mabuk. Satu per satu hanyut dalam suasana nafsu berjamaah. Tak peduli pria dengan wanita, pria dengan pria, anak atau orang tua, semua lebur berbaur dalam keriuhan libido malam itu.

Bahkan ibu dan anak, atau ayah dan anak sudah tak peduli hanyut menuruti nafsu hewani yang sudah umum dilakukan tiap malam di desa tersebut. Ya, memang hampir tiap malam desa makmur itu menggelar kesenian Lengger dengan penari yang bisa diajak memuaskan birahi. Semakin malam semakin membaur antara suara dengung gong atau lenguhan penari penonton.


Tanpa disadari di luar pendopo dusun, semakin malam rintik hujan turun semakin lebatnya. Namun hal itu tak dirasakan oleh penikmat hiburan karena telah tenggelam dalam hipnotis lidibo yang melenakan itu. Hujan dianggap hanyalah sebuah hujan sebagaimana hujan biasa di malam-malam sebelumnya. Hampir tengah malam lewat hujan mulai reda. Jam menunjukkan pukul 23.00 WIB. Tiba-tiba terdengar suara “BUUUUMMMMM” sedemikian dahsyatnya, seperti suara meteor yang jatuh menghunjam bumi. Gemuruh gamelan dan lenguhan riuh tiba-tiba sirna … sunyi … senyap … hilang tak berbekas … hanya dalam sekejap.


Seandainya gunung Pengamun-Amun sekedar longsor, maka longsoran itu hanya akan menimpa dibawahnya. Karena masih ada sungai dan jurang. Akan tetapi kejadian ini bukan longsornya gunung. Antara dukuh Legetang dan gunung Pengamun-amun terdapat sungai dan jurang, yang sampai sekarang masih ada. Sebetulnya jarak antara gunung dan desa itu jauh, sehingga sulit diterima akal bahwa tanah longsor itu bisa menimpa desa. Jadi, tanah itu seolah-olah terbang dari gunung, dan menimpa desa.

Salah seorang saksi tragedi Legetang, Suhuri warga Pekasiran RT 03/04 yang kini berusia sangat lanjut mengatakan, musibah terjadi malam hari pukul 23.00 saat musim hujan.

Suhuri mengaku lemas seketika begitu mendengar kabar tersebut, karena kakak kandungnya, Ahmad Ahyar, bersama istri dan 6 anaknya tinggal di dusun Legetang. Namun Suhuri maupun keluarganya dan warga lain tak berani langsung ke dusun yang berjarak sekitar 800 meter dari pusat desa Pekasiran, karena beredar kabar tanah dari lereng gunung Pengamun-amun masih terus bergerak.



Lenyapnya desa Legetang dan penghuninya juga menyimpan misteri, karena Suhuri dan beberapa warga Desa Pekasiran lain seusianya yang kini masih hidup mengatakan, antara kaki gunung sampai perbatasan kawasan pemukiman di dusun itu sama sekali tidak tertimbun, padahal jaraknya beberapa ratus meter.

Waktu itu semua orang tercengang dan suasana mencekam melihat seluruh kawasan dusun Legetang terkubur longsoran tanah. Tak ada sedikit pun bagian rumah yang kelihatan. Tanda-tanda kehidupan penghuninya juga tak ada, kenang Suhuri.

Jadi kesimpulannya, potongan gunung itu terangkat dan jatuh menimpa dukuh Legetang. Siapakah yang mampu mengangkat separo gunung itu?

Kisah ini serupa sebagaimana kaum Sodom Gomorah yang ditimbun oleh ledakan dahsyat Gunung Pompey dalam sekejap. Bahkan dari sisa-sisa bekas reruntuhan saat ini masih tergambar jelas ketika kaum Sodom Gomorah sedang dalam posisi berzina tiba-tiba tertimbun tanah gunung dan material vulkanik.



KOTA POMPEII


Perjalanan panjang peradaban dunia memuat jutaan kisah tentang pelajaran hidup. Ada kisah yang penuh suka, ada pula yang berbalut duka. Satu kisah miris tentang sebuah Kota yang seketika hancur dalam satu malam karena amukan bencana ternyata bukan menjadi cerita dongeng semata.

Kisah yang melegenda itu berasal dari negeri Italia. Hilang dan terkuburnya Kota Pompeii adalah cerita yang patut direnungkan. Bukti sejarah terkuburnya Pompeii nyata adalah bukti kota yang seketika diazab oleh Sang pemilik kehidupan, kota yang hancur dan tenggelam hanya dalam hitungan malam.

Kala itu, matahari yang makin meninggi bukan menjadi awalan hari bagi ribuan penduduk Kota Pompeii. Kota yang megah di kaki Gunung Api Vesuvius itu belum sepenuhnya terbangun, mereka masih terlelap seelah menghabiskan malam dengan pesta pora, perayaan, dan ingar bingar tanpa henti.

Pada masanya, layaknya Kota Las Vegas di masa kini. Kehidupan gemerlap malam, kegilaan duniawi, arak, alkohol, seks, dan semua jenis candu luluh dalam deru nafas dan aliran darah penduduk Kota Vesuvius. Setiap malamnya mereka berpesta, kekayaan dan kemegahan Kota Pompeii melelapkan mereka dari segala kewajiban pekerjaan dan mencari nafkah.

Namun, di siang itu, kalender Masehi mencatatkan tanggal 24 Agustus tahun 79 Masehi. Sejarah Kota Pompeii yang melegenda karena gemerlap malamnya nampak masih tertidur dalam kelelahan usai pesta. Dalam sekejap, bumi bergetar hebat, guncangan menghentak semua penduduk dan membangunkan mereka yang masih termabuk oleh kerasnya alkohol. Semua yang diam seketika berguncang.

Tak sampai semenit, guncangan berubah menjadi gemuruh dahsyat dari puncak Gunung Vesuvius. Gunung api itu ternyata sedang terbangun. Dapur magmanya yang besar sedang mendidih, bersiap memuntahkan isinya melalui celah sempit kawahnya. Sementara itu, di Kota Pompeii seluruh bangunan yang rapuh, berikut patung-patung besar berpose mesum, rumah bordil semi permanen, arena gladiator yang dipakai berjudi, serta gedung teater rubuh seketika.

Dilansir dari laman BBC, Pliny seorang pejabat dari Romawi yang selamat dari bencana Kota Pompeii menuliskan kisah di hari itu lewat coretan surat-surat peninggalan bersejarah, Ia mengisahkan, setelah bunyi gemuruh dari Vesuvius, Orang Pompeii tumpah ke jalan dalam pandangan kosong tak mengerti apa yang sedang terhadi.

Dalam sekejap, Gunung Vesuvius pun meletus. Memuntahkan semua isi perutnya pada suhu puncak didih. Batuan vulkanik, pasir, debu, aliran prioklastik, hingga lava yang merah mendidih seketika meluber dari mulut kawah. Mengalir deras ke arah Kota Pompeii. Letusan yang berlangsung seharian itu pun tak bisa dibendung sama sekali, terjadi berjarak hanya sekian kilometer dari puncak Vesuvius tak bisa mengelak sama sekali dari derasnya bencana letusan Gunung Vesuvius.

Akhirnya, Kota maksiat itu pun terkubur total. Sejarah mencatat ada 20.000 jiwa warga yang terjebak dalam bencana dahsyat Vesuvius. Lahar panas yang mengalir deras menghanguskan seluruh Kota Pompeii hanya dalam satu hari. Mengenggelamkan kota itu hingga sedalam tiga meter. Sejak bencana itu, Kota Pompeii pun hilang dalam peradaban Kekaisaran Romawi. Pompeii pun dilupakan sejarah, hingga akhirnya ditemukan pada tahun 1748.

Pasca ditemukan secara tak sengaja oleh arkeolog di wilayah yang kini bernama Campania, Tenggara Kota Napoli, Italia, penemuan Kota Pompeii pun mengejutkan dunia. Sejarah peradaban Pompeii akhirnya terkuak. Satu hal yang paling menarik, artefak kota maksiat yang terkubur bencana itu tak hanya meninggalkan bentuk rumah, batu-batuan, dan penggambaran betuk Kota Pompeii. Namun juga ditemukan puluhan jasad warga Pompeii yang masih utuh!

Mayat-mayat penduduk Pompeii yang terkubur aliran piroklastik dan lava panas itu berada dalam kondisi utuh karena mengeras, membatu, dan diawetkan oleh abu vulkanik selama ribuan tahun. Mereka membatu dalam berbagai posisi yang seronok dan menggambarkan karakteristik penduduk Kota Pompeii yang mengumbar perzinahan. MasyaAllah.






Source:

1 komentar: